Setelah melihat judul buku baru bang A.Fuadi ‘anak rantau’ yang berseliweran di beranda sosial media, saya jadi teringat akan diri saya, walaupun saya belum baca tapi saya sudah bisa merasakan aura dari buku ini hehe.
Sudah lima tahun terlewati, napak tilas anak rantau masih nampak jelas diingatan, ternyata saya pernah menjadi anak rantau di pulau Borneo, masih tak menyangka saya pernah pergi ke sana, itu pertama kalinya menginjakkan kaki ke tempat yang paling jauh, cita- cita selanjutnya mengelilingi Indonesia dan dunia semoga bisa terlaksana.
Kota yang dikenal dengan julukan kota tepian menjadi saksi bisu hidup saya sebagai anak rantau selama dua tahun, mungkin ini sebagai awal permulaan saya menjelajahi Indonesia walaupun pada akhirnya target menjelajahi Indonesia saat ini hanya menjadi wacana. Pertama kali hal yang saya bayangkan di ibukota Kalimantan timur ini adalah hutan, mendengar tentang Kalimantan tetap terbayang hutan belantara dengan monyet dan buaya, ternyata ekspetasi saya salah, ini kota metropolitan layaknya Jakarta lebih ramai dari Kota Solo, banyak para perantau mengadu nasib di kota ini.
*Desa kami bernama Longpoq*
Di sinilah kisah anak rantau dimulai, tiga pasang kaki memasuki pintu gerbang hijau melewati lapangan besar dan memasuki sebuah ruangan, ruangan yang terlihat sudah mulai menua karena umur, pemilik kaki itu adalah aku, sahabatku dan ibu sahabatku, kami mendapat sambutan hangat dan berbincang- bincang cukup lama di ruangan ini, saling memperkenalkan diri satu sama lain.
Hingga tiba waktu kami berdua berpamitan kepada ibu sahabatku yang mengantar kami. Kemudian kami diantar ke kamar oleh ketua asrama di pesantren ini, sebelum sampai di kamar kami diajak mengelilingi pesantren kecil ini.
Kami melewati santriwan dan santriwati yang menatap kami, kulempar mereka dengan seyum, terlihat mereka sangat malu-malu. Jilbab putih besar menutup tubuh santriwati, satu yang membuatku sedikit menggelitik tertawa kecil, kulihat mereka sangat anggun dengan pakaiannya tapi ketika kita melihat kebawah hampir semua dari mereka tidak memakai alas kaki entah itu santriwan atau santriwati sama, padahal sekolah mereka tak berkeramik dan sepatu mereka hanya bertenger dibawah meja tempat belajar, lalu kutanya pada mereka “Hai, Asslamu’alaikum” “wa’alaikumussalam” jawab mereka malu-malu, belum saya melanjutkan untuk memperkenalakan diri, salah satu dari mereka bertanya “ini ustadzah yang mau ngajar di sini yaa?” ada perasaan berbeda ketika mereka menyebut kami ustadzah, ini julukan baru kami setelah kami menjadi santri enam tahun. “yaa, salam kenal yaa, saya ustadzah Farah” temanku dengan senang hati langsung memperkenalkan diri dan menperkenalkanku.
Saat itu juga kami semua langsung akrab dan berbagi cerita, ternyata banyak dari mereka anak pedalaman Kalimantan timur, “ohh ini ustadzah” sambil menunjuk kaki,” memang kita belum terbiasa pakai sepatu, panas, ga enak, jadi sepatunya kita taruh di kelas aja” cerita salah satu santriwati tentang sepatu yang kutanyakan. “jadi di rumah kita itu ga ada listrik ustadzah, cuman nyala dari jam 10 pagi sampai jam 8 malam” ini jawaban atas rasa penasaranku tentang kehidupan mereka di rumah. “terus gimana ada HP ga? TV? Setrika? Elektronik lainnya?” “hahaha” sontak beberapa anak tertawa “yaa ada donk ustadzah, tapi kalau mau cari sinyal HP harus naik gunung dulu, terus kalau TV ehmmm”. Ia berhenti sejenak “kalau TV yang punya cuman pak kades, kalau setrika yaa nanti kalau kita pakai setrika ga kuat us, listrik pada mati ahhaa” “Desa kita namanya Longpoq, ustadzah harus main ke rumah kita”.
Ini awal perkenalan kami dengan mereka, sangat menyenangkan, kutatap mereka dengan seksama dalam hati kuberbicara “lihatlah ini tempatku mengabdi, setahun kedapan aku akan mengabdikan diri bersama kalian di tempat ini, aku membawa nama pesantrenku, jadi aku harus memberikan yang tebaik untuk kalian semua”.
****
Sukoharjo, 23 Juli 2017
21:53 WIB
#30DWC7#Day18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar